Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Merawat Kearifan Lokal melalui Sanggar Budaya

Oleh Tedy Asjad Krisnamukti (Universitas Brawijaya)

Judul Buku : Merawat Kearifan Lokal melalui Sanggar Budaya
Penulis : Romi Isnanda, Hidayati Azkiya, dan Syofiani
Sampul : Abdul Aziz
Editor : Romi Isnanda dan Hidayati Azkiya
Layout : Huseini Nur
ISBN : 978-623-90741-5-9
Tahun Terbit : 2019
Penerbit : LPPM Universitas Bung Hatta

Kebudayaan hadir di tengah-tengah kehidupan manusia bukanlah seperti seorang pesulap yang memainkan kecepatan tangannya untuk mengubah suatu benda menjadi bentuk benda yang lainnya atau menggeser posisi benda, dari tempat yang satu ke tempat lainnya, namun melalui proses tindakan dan pemikiran bijak dengan dilandasi rasa memiliki yang tinggi oleh para tetua dan masyarakat yang hidup di massa lampau. Dengan dilandasi rasa memiliki yang tinggi itulah kebudayaan menjadi suatu penciri secara kolektif bagi kelompok masyarakat yang berada di sekitarnya. Apabila ada satu di antara kelompok masyarakat yang merusak marwah budaya, baik disengaja atau pun tidak maka yang akan terkena dampaknya bukan hanya individu/kelompok tertentu, melainkan kelompok masyarakat secara kolektif.

Mengingat bagaimana proses dan fungsi kehadiran kebudayaan di tengah-tengah kehidupan masyarakat, sudah selayaknyalah setiap generasi yang hidup dari zaman ke zaman menyadari arti penting kedudukan, peran, dan fungsi kebudayaan. Hal tersebut tentunya menjadi tanggung jawab bersama bagi setiap lapisan masyarakat, baik dalam bentuk formal maupun non-formal melalui strategi, media, dan metode yang bisa dipahami. Dengan demikian, marwah budaya yang menjadi salah satu jati diri masyarakat tetap terjaga dengan baik di tengah-tengah perubahan zaman. Oleh sebab itu, buku ini mencoba menguraikan permasalahan kebudayaan di lingkaran zaman dan alternatif upaya untuk menjaga serta merawatnya yang dimulai dari kebudayaan daerah/kearifan lokal. Alternatif upaya menjaga dan merawat kebudayaan disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang bersifat kekinian.

Kebudayaan tidak serta merta muncul dengan sendirinya, tetapi muncul melalui konstruksi tindakan dan gagasan yang dilandasi oleh rasa memiliki yang tinggi oleh nenek moyang dan masyarakat pada masa lampau. Hal ini menciptakan kesadaran kolektif masyarakat di sekitarnya. Apabila ada individu maupun kelompok masyarakat yang merusak budaya, baik melalui tindakan disengaja maupun tidak disengaja, maka yang terkena dampak bukan hanya individu atau kelompok tertentu, melainkan juga masyarakat secara kolektif. Melihat bagaimana kehadiran budaya di masyarakat membuat hal ini penting bagi setiap generasi untuk memahami makna proses, kedudukan, peran, dan fungsi kebudayaan. Kebudayaan menjadi tanggung jawab kolektif seluruh lapisan masyarakat, baik dalam upaya formal dan nonformal melalui strategi, media, dan metode yang bisa dipahami.  

Buku Merawat Kearifan Lokal melalui Sanggar Budaya merupakan naskah terpilih dalam Program Akuisisi Pengetahuan Lokal. Buku ini menyadari bahwa muruah budaya merupakan salah satu jati diri masyarakat yang diharapkan dapat tetap terjaga di tengah-tengah gerusan perubahan zaman. Oleh sebab itu, buku ini mencoba menguraikan permasalahan perihal kebudayaan dan alternatif upaya untuk menjaga serta merawatnya yang dimulai dari kebudayaan daerah atau kearifan lokal. Alternatif upaya untuk menjaga dan merawat kebudayaan disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang bersifat kekinian.

Pembahasan buku ini dibuka dengan pembahasan mengenai hakikat kebudayaan dan kesenian daerah. Di awal, penulis memaparkan hakikat budaya dan hakikat seni. Budaya merupakan cara hidup yang berkembang dan dimiliki secara bersama oleh suatu kelompok yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam hakikat budaya terdapat unsur-unsur pembentuk budaya, wujud kebudayaan, budaya dan lingkungan, proses dan perkembangan budaya, dan pranata budaya. Sementara itu, hakikat seni adalah proses atau upaya sadar manusia dengan sesamanya secara beradab di mana pihak pertama membimbing perkembangan, kemampuan, dan kepribadian pihak kedua secara manusiawi. Seni sendiri dibagi menjadi karya seni dua dimensi yang terdiri dari seni lukis dan grafis serta karya seni tiga dimensi yang terdiri dari seni patung dan seni tari. Seni  memiliki beragam fungsi, seperti fungsi pendidikan, fungsi komunikasi, fungsi hiburan, dan fungsi artistik. Budaya dan seni pada prinsipnya saling berkaitan dan saling memengaruhi satu sama lain. Salah satu bentuk keterkaitan ini adalah kebudayaan dan kesenian daerah yang tumbuh dan berkembang secara kedaerahan yang menjadi penciri masyarakat secara kolektif di mana kebudayaan dan kesenian daerah ini berkembang. Namun, esensi dan hakikat kesenian dan kebudayaan daerah tidak hanya bersifat kedaerahan, tetapi juga menjadi cikal bakal eksistensi kebudayaan nasional.

Pembahasan berlanjut pada bagian berikutnya yang memaparkan hakikat karya sastra dan klasifikasi karya sastra. Karya sastra adalah kata-kata yang indah dan dihasilkan oleh seseorang yang berkarya dan berjiwa seni, di mana memuat objek pembahasan mengenai permasalahan hidup manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Karya sastra sangat sulit dipisahkan dari seni karena merupakan bagian dari karya seni. Karya sastra sendiri dibagi menjadi karya sastra lisan dan karya sastra tulisan. Pada bagian lain, buku ini memuat pembahasan mengenai fungsi dan peran budaya lokal di era globalisasi yang memfokuskan kepada kesenian rakyat atau pertunjukan rakyat. Kesenian rakyat sebagai bagian tradisi setengah verbal dalam sastra lisan berfungsi secara kreatif dengan menggiring kreativitas masyarakat, secara didaktik melalui pemberian nilai tunjuk ajar bagi masyarakat, secara estetis memberikan keindahan atau hiburan bagi masyarakat, secara moral mengajak masyarakat berperilaku positif, dan secara religius memberikan pedoman dalam kehidupan. Eksistensi budaya dan seni lokal menjadi akar seni dan budaya nasional Indonesia. Namun, di era globalisasi, seni dan budaya lokal tidak sepenuhnya terpatri dan terintegrasi dalam perilaku dan sikap masyarakat Indonesia, termasuk kawula muda.

Buku ini juga memberikan pemaparan mengenai pentingnya pendidikan multikultural sebagai alternatif upaya pelestarian budaya. Pendidikan multikultural mengajarkan kepada individu bahwa dalam kehidupan akan selalu berhadapan dengan kondisi yang berbeda dengan dirinya. Apabila keadaan tersebut dibiarkan tanpa kontrol oleh lingkungan pendidikan, keluarga, dan masyarakat maka hal itu akan merusak mental individu tersebut. Terdapat lima dimensi pendidikan multikultural, yaitu dimensi integrasi isi, dimensi konstruksi pengetahuan, dimensi pengurangan prasangka, dimensi pendidikan yang adil, dan dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial. Buku ini ditutup dengan pembahasan mengenai penataan sanggar budaya lokal. Sikap dan perilaku individu dalam menjaga dan merawat kebudayaan menjadi ciri kolektif masyarakat yang bermukim di daerah tertentu. Sanggar budaya lokal sebagai tolok ukur bagi orang untuk menilai pelestarian budaya perlu upaya sistematik dalam menjaga dan merawatnya. Adapun upaya yang dapat dilakukan adalah menciptakan wadah yang khas sesuai dengan karakteristik kelompok masyarakat, menciptakan wadah yang efisien dan fleksibel, dan menciptakan tempat yang permanen guna mendukung keseriusan upaya pelestarian budaya.

Buku yang memaparkan eksistensi kebudayaan dan kesenian lokal sebagai aset nasional yang perlu dilestarikan ini cukup mudah dipahami, khususnya bagi pemerhati konservasi budaya. Dalam bab-bab buku ini memuat kata-kata sulit yang mungkin kurang dipahami oleh orang awam, seperti ‘badingkutisme’ dan ‘fauvisme’. Namun, penulis memberikan penambahan penjelasan mengenai makna kata tersebut, baik dipaparkan secara langsung maupun dimuat di dalam glosarium. Kemudian, pada bab II yang memuat klasifikasi karya sastra lokal, penulis benar-benar memberikan contoh tradisi folklor Indonesia. Contohnya adalah kisah Sutan Mantari sebagai tradisi lisan yang berkembang di Sumatra Barat dan drama Siti Nursian yang merupakan bagian sastra tulisan. Pemberian contoh-contoh ini patut diapresiasi karena dapat menambah khazanah pengetahuan tradisi folklor Indonesia secara komprehensif.

Meski demikian, terdapat sorotan pada bab I yang memuat pembagian seni menjadi dua dimensi dan tiga dimensi. Penulis tidak memberikan visualisasi, baik melalui gambar maupun foto bentuk seni lukis, seni tari, dan seni patung di Indonesia. Padahal, visualisasi ini dapat mempermudah penggambaran contoh yang disampaikan penulis, menciptakan apresiasi terhadap seni yang berkembang di Indonesia, dan mengurangi kebosanan akibat terlalu banyak penggunaan aspek tekstual. Selain itu, penulis kurang mengeksplorasi pembahasan mengenai upaya-upaya merawat kearifan lokal melalui sanggar budaya. Penulis hanya memberikan sedikit penjelasan bagian penting ini di bagian akhir buku. Penulis sebaiknya dapat memberikan rencana kerja upaya perawatan kearifan lokal melalui sanggar budaya dengan memberikan studi kasus pada sanggar budaya yang dinilai berhasil dalam melestarikan kearifan lokal. Penulis juga dapat memberikan strategi-strategi yang efisien yang berkaitan dengan upaya perawatan kearifan lokal melalui sanggar budaya.

Secara garis besar, buku ini bagi pengulas memberikan pemahaman-pemahaman baru yang belum didapatkan sebelumnya mengenai kekayaan jenis-jenis kesenian dan kebudayaan daerah. Kemudian, apresiasi dari pengulas diberikan kepada para pemerhati budaya mengenai bagaimana mereka menjaga budaya Indonesia agar tetap terkodifikasi dengan baik meskipun terdapat ganjalan di era globalisasi dibanding dengan negara-negara lain yang mungkin kebudayaan lokal mereka punah tergusur oleh tawaran kebudayaan modern. Sanggar budaya patut diacungi jempol karena menjadi pendekatan yang baik kepada masyarakat untuk menyemai keberlangsungan upaya pelestarian kearifan lokal. Diharapkan sanggar budaya dapat secara aktif mempromosikan kebudayaan dan kesenian daerah. Selain itu, keberadaan sanggar budaya diharapkan dapat mencegah terjadinya hal yang tidak diharapkan, seperti punahnya kebudayaan dan kesenian lokal.