Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ketika Laut Memanggil: Sebuah Perjalanan Mengenali Kawasan Bahari Terluar Indonesia, Perairan Sumba

Oleh Vernandita Refi T. (Universitas Diponegoro)

Judul : The Ocean Call: Baruna Jaya Perairan Sumba

Durasi : 25:50

Kreator : M. Yunus Patawari, Andrian Wikayan, Adipati Dolken, Darius Sinathrya, Laura Citra Zhahira, Hanum Ayuningtyas, Evandri, Penny Sylvania Putri

Bahasa : Bahasa Indonesia dengan takarir Bahasa Inggris

Produksi : Balai Informasi Teknologi LIPI dan Pusat Penelitian Oseanografi LIPI

Awal tahun memang momen yang tepat untuk merefleksikan diri dan membuat resolusi-resolusi baru dengan harapan agar menjadi pribadi yang lebih baik ke depannya, lebih baik terhadap diri sendiri, sesama, juga kepada alam dan seluruh isinya. Film dokumenter garapan Balai Informasi Teknologi dan Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dapat dijadikan sarana untuk kita beranjangsana dengan alam, terutama laut Indonesia. Melalui narasi yang dibacakan oleh Adipati Dolken, kita dibawa dalam sebuah perenungan akan besarnya kekuatan laut yang berdampak begitu luas bagi kehidupan seluruh makhluk di bumi yang kita tinggali ini.

Barangkali sebagian besar dari kita mengira bahwa hutan dan pepohonan adalah penyumbang oksigen terbesar di bumi. Pernyataan tersebut tidak sepenuhnya keliru. Hutan memang berkontribusi dalam penyediaan oksigen di daratan. Namun, pernahkah terpikir oleh kita bahwa laut yang mendominasi hampir tiga perempat permukaan bumi justru merupakan penyumbang oksigen terbesar bagi kehidupan? Dengan volume yang sedemikian besar, laut juga berpengaruh dalam penentuan iklim dan cuaca, penstabil suhu udara, hingga membentuk proses kimia bumi. Sayangnya, dalam 50 tahun terakhir, emisi gas global yang berlebih memicu terjadinya pemanasan global yang berdampak pada pengasaman air laut. Di samping itu, persoalan plastik juga turut mengancam keseimbangan ekosistem dan kehidupan laut.

Julukan Indonesia sebagai negara maritim rasa-rasanya sudah sangat kita pahami bersama. Ironisnya, julukan tersebut tidak diimbangi dengan pengetahuan dan kepedulian kita terhadap laut Indonesia. Imbasnya, ketidaktahuan dan ketidakpedulian ini pulalah yang justru mendatangkan ancaman bagi ekosistem laut. Oleh karena itu, sebagai gerbang awal pengenalan laut nusantara, film dokumenter ini mengajak kita untuk mengikuti sebuah eksplorasi laut Indonesia. Melalui sebuah ekspedisi bernama Ekspedisi Widya Nusantara (EWIN) yang telah dilakukan sejak 2007 dan rutin dilaksanakan setiap tahunnya itu, kita dibawa untuk ikut mengarungi samudra guna meneliti, mengumpulkan data, informasi, dan pengetahuan tentang sumber daya alam. Pada tahun 2016, EWIN dengan menggunakan kapal Baruna Jaya milik LIPI memilih perairan Sumba sebagai kelanjutan dari eksplorasi mereka. Perairan Sumba dipilih dengan mempertimbangkan sejumlah faktor seperti minimnya data perairan kekayaan hayati dan nonhayati di perairan tersebut, potensi ditemukannya biota-biota unik dikarenakan kawasan Sumba merupakan kawasan transisi antara zona biogeografi Indo-Melayu dengan Austronesia, dan perairan Sumba merupakan kawasan terdepan yang berbatasan langsung dengan kawasan internasional (Australia).

Film dokumenter berdurasi 25 menit tersebut juga menyajikan teknis penelitian yang dilakukan oleh 49 tim dan kru yang berfokus di bidang geologi, oseanografi fisika, biogeokimia, pencemaran laut, dan keanekaragaman hayati. Dalam pelaksanaan penelitian, keselamatan kerja dengan mematuhi safety instruction senantiasa dilaksanakan untuk menjamin keselamatan dan meminimalkan risiko-risiko yang tidak diinginkan.

Perairan Sumba dilewati oleh Indonesian Through Flow (ITF) atau Arus Lintas Indonesia (Arlindo). Arlindo  merupakan sistem sirkulasi massa air yang datang dari Samudra Pasifik di bagian utara menuju Samudra Hindia di bagian selatan melewati perairan Indonesia. Permukaan Laut Pasifik yang lebih tinggi menjadikan massa air bergerak menuju Samudra Hindia melalui dua jalur utama, yaitu melalui Laut Sulawesi di jalur barat dan Laut Maluku di jalur timur. Gerbang akhir dari arus massa air ini berada di perairan Sumba sebelum keluar menuju Samudra Hindia.

EWIN menemukan fakta bahwa perairan Sumba dan sekitarnya, termasuk perairan Bali, Lombok, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki produktivitas primer yang cukup tinggi. Itu artinya, kadar klorofil dan kondisi fitoplankton pada perairan tersebut mampu memproduksi sumber makanan primer dan masuk dalam kategori subur. Selain itu, area padang lamun di perairan Sumba dijadikan habitat bagi ikan-ikan muda sebelum mereka pindah ke lautan bebas dan terumbu karang. Dengan kata lain, padang lamun di perairan ini merupakan tempat asuhan bagi anak-anak ikan dan teripang. Sementara itu, pada terumbu karang di perairan Sumba ditemukan bekas-bekas pengeboman yang tertutup alga.

Di tengah produktivitas primer yang terbilang tinggi, pencemaran laut di perairan tersebut pun ikut meningkat. Tentu ini bukanlah kabar baik mengingat perubahan fisik laut juga turut memengaruhi kehidupan makhluk hidup di laut. Suhu air laut yang naik berdampak pada tingkat keasaman laut. EWIN menemukan pencemaran laut di perairan Sumba setidaknya dikarenakan dua hal, yaitu logam berat dan mikroplastik yang tersebar di perairan tersebut. Level mikroplastik yang ditemukan di perairan Sumba setidaknya hampir sama dengan mikroplastik di Tiongkok, yakni berupa fiber atau benang. Ini berbeda dengan mikroplastik yang umum ditemukan di Indonesia yang dominan berbentuk fragmen atau pecahan.Menariknya, meskipun bahasan film dokumenter ini kerap disisipi kalimat dan penjelasan saintifik, kita dapat dengan mudah memahaminya dikarenakan keruntutan alur, bantuan narasi voice-over, serta adanya timestamps yang membantu penonton untuk mengetahui daftar isi film dokumenter. Sayangnya, film dokumenter tersebut tidak memberikan solusi bagi para penonton terkait hal-hal yang perlu mereka lakukan untuk menjaga laut Indonesia. Tim produksi sepertinya sengaja meniadakan solusi-solusi klasik, seperti membuang sampah pada tempatnya atau mulai mendaur ulang barang. Film dokumenter ini justru meminta kita untuk memikirkan kembali sekiranya solusi apa yang perlu dilakukan untuk pencegahan perluasan pencemaran laut yang kian lama kian mengkhawatirkan. Kendati demikian, film dokumenter yang dirilis pada tahun 2018 ini dapat dijadikan sebagai sarana bagi kita untuk mulai menyadari peran penting dari lautan, mengenali laut Indonesia yang unggul akan kekayaan biota, keragaman hayati dan nonhayatinya, serta membuat kita menjadi insan yang lebih bijak dalam menyikapi alam sekitar.