Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Potensi Bahan Pangan Alternatif untuk Kedaulatan Pangan Nasional

Cibinong- Indonesia memiliki potensi pangan lokal yang beragam, namun sejauh ini masih belum maksimal untuk dimanfaatkan sehingga masih tergantung pada beberapa jenis bahan pangan seperti beras, gandum, dan jagung. Untuk mengenalkan potensi bahan pangan alternatif, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Direktorat Repositori, Multimedia, dan Penerbitan Ilmiah menggelar Bedah Buku dan Knowledge Sharing “Tanaman Multimanfaat dan Bahan Pangan Alternatif untuk Kemandirian Pangan” pada Jumat (28/10) di Cibinong, Jawa Barat. “Dua buku yang akan dibedah ini adalah keluaran program Akuisisi Pengetahuan Lokal tahun 2020 dan tahun 2021,” jelas Plt. Direktur Repositori, Multimedia, dan Penerbitan Ilmiah BRIN, Ayom Widipaminto. Dirinya menerangkan program Akusisi Pengetahuan Lokal ini merupakan bentuk crowd sharing untuk menemukan pengetahuan baru dari masyarakat. “Tidak hanya tentang teknologi dan inovasi, namun juga kearifan lokal dan pengetahuan tradisional,” ujar Ayom.

Gayam tanaman multimanfaat

Bedah buku menghadirkan Albertus Husein Wawo dari Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya, dan Kehutanan BRIN sebagai penulis buku “Mengenal Gayam:

Tanaman Multimanfaat”. “Gayam memiliki manfaat mulai dari daging hingga cangkang bijinya,” jelas Albertus. Daging biji gayam berpotensi sebagai sumber pangan. “Daging biji dapat dimakan setelah direbus atau disangrai, dapat dibuat kripik dan tepung,” terangnya. Dirinya menjelaskan, dari hasil penelitian Burkill (1935) kandungan gizi pada daging biji gayam kering terdiri dari lemak sebanyak tujuh persen, abu sebanyak dua setengah persen, dan sekitar 80 persennya belum teridentifikasi. Sementara daun gayam muda, terang Albertus, oleh masyarakat di Bantul, Yogyakarta dijadikan untuk campuran masakan sayur lodeh. “Daun gayam yang telah tua digunakan sebagai pembungkus tempe dan pakan kambing, domba serta sapi.”

Untuk pemanfaatan gayam sebagai bahan pangan, Albertus menyatakan perlu teknik pengeringan dan pengolahan daging biji gayam menjadi tepung untuk menghindari kerusakan sekaligus meingkatkan nilai ekonominya. “Bahan pangan dalam bentuk tepung selain mengatasi kerusakan pada saat penyimpanan, juga memudahkan pengangkutan dan untuk pengolahan lebih lanjut menjadi aneka produk makanan,” jelasnya. Albertus menjelaskan, teknologi pengolahan biji gayam menjadi tepung gayam dan produk pangan lainnya ini  perlu dikenalkan kepada masyarakat. “Diharapkan masyarakat mampu menyediakan produk-produk makanan yang berkualitas dari daging biji gayam.”

Potensi taka sebagai bahan pangan alternatif

Peni Lestari persiet Pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan BRIN yang menulis buku “Taka Tacca leontopetaloides untuk Kemandirian Pangan” menjelaskan taka merupakan salah satu jenis umbi-umbian liar yang memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi. “Selain umbinya mengandung karbohidrat tinggi lebih dari delapan puluh persen, taka juga memiliki potensi adaptasi terhadap perubahan iklim,” ujar Peni Lestari.

Peni merangkan, taka dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan setelah umbinya diolah menjadi tepung pati. “Meski memiliki karbohidrat tinggi taka memiliki indeks glikemik sedang, kaya akan mineral dan vitamin C juga kaya serat,” ujar Peni. Dengan kandungan tersebut taka dapat digunakan sebagai bahan pangan pengganti tepung beras sekaligus memiliki sisi fungsional untuk penderita autis dan diabetes.Peni bersama periset BRIN melakukan penelitian di lima daerah untuk meneliti pemanfaatan umbi taka oleh masyarakat setempat. “Umumnya taka dimanfaatkan setelah diolah menjadi tepung pati sebagai pengganti tepung terigu,” jelasnya.

Tantangan pengembangan bahan pangan alternatif

Guru Besar Ilmu Gizi dan Masyarakat Institut Pertanian Bogor, Drajat Martianto mengungkapkan Indonesia setidaknya memiliki 77 sumber karbohidrat. “Tahun 1993dan 2002 ubi kayu, jagung, dan sagu masih menjadi bagian dari pola konsumsi pangan pokok masyarakat Indonesia. Di tahun 2010, terigu justru menjadi pangan pokok kedua,” ujar Drajat. Dirinya menjelaskan, terigu dapat berkembang pesat karena rasa enak, harga terjangkau, memiliki ribuan produk turunan, promosi yang gencar dan kreatif, serta dukungan kebijakan berupa impor tarif nol persen.

Dirinya mengungkapkan menjadikan gayam atau taka sebagai pilar ketahanan pangan akan menimbulkan ekspektasi berlebih. “Dari sisi produktivitas produksi, daya terima, dan harga, gayam akan lebih cocok sebagai makanan fungsional atau kudapan khas. Sementara taka selama ini lebih berfungsi sebagai famine food yang dikonsumsi saat terjadinya kesulitan mengakses pangan seperti gadung atau umbi-umbi liar lainnya,” jelas Drajat. Menurut Drajat, pangan alternatif seperti mungkin saja mengubah pola konsumsi masyarakat namun arah menuju titik tersebut akan sangat kecil mengingat konsumsi umbi-umbian seperti taka akan menurun seiring peningkatan. “Kecuali kita melakukan langkah yang cukup revolusioner dan masif,” ujar Drajat. Beberapa rekomendasi tersebut seperti dukungan kebijakan seperti dukungan riset dan pengembangan, subsidi, dan jaminan pasar. “Juga penyuluhan perubahan perilaku yang terstruktur disertai stimulasi dan pendampingan gerakan masyarakat,” tutup Drajat. (FZ)