Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menyelisik Konflik ASEAN: Evaluasi Penyelesaian Sengketa Perbatasan

Oleh: Ghaitsa Ranawigena (Mahasiswi Universitas Ibn Khaldun Bogor)

Identitas Buku

Judul Buku                  : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perbatasan di Asia Tenggara

Penulis                        : Japanton Sitohang, CPF Luhulima, Awani Irewati, Hayati Nufus, dan
Agus R. Rahman

  Penyunting              : Awani Irewati

Penerbit                     : Mahara Publishing

Tahun Terbit               : 2017

Jumlah Halaman        : 139 Halaman

ISBN                           : 978-602-466-001-7

Negara-negara di Asia Tenggara tergabung dalam suatu organisasi bernama Association of Southeast Asian Nations atau biasa disebut dengan ASEAN. Organisasi yang diinisiasi oleh Thailand, Malaysia, Indonesia, Singapura, dan Filipina ini resmi berdiri sejak 8 Agustus 1967 di Bangkok, Thailand. Negara-negara tersebut sering bergesekan dengan konflik perbatasan antarnegaranya. Saat ini, anggota ASEAN terdiri atas sepuluh negara, ditambah dengan Brunei Darussalam, Laos, Vietnam, Myanmar, dan Kamboja. Sepuluh negara tersebut memiliki perjanjian dan aturan yang saling mengikat, termasuk dalam hal penyelesaian konflik.

Buku Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perbatasan di Asia Tenggara membahas tentang konflik perbatasan yang terjadi di negara ASEAN, tepatnya antara negara Thailand-Malaysia, Thailand-Kamboja, Thailand-Laos, Indonesia-Malaysia, dan Malaysia-Singapura. Pada bab pertama, buku ini langsung menyuguhkan gambaran utama yang akan dibahas, mulai dari bagaimana ASEAN mengatur kesepakatan dan perjanjian; bagaimana penyelesaian konflik jika terjadi antaranggota ASEAN; tujuan utama negara-negara anggota bergabung; hingga mekanisme konflik-konflik yang terjadi beserta penyelesaiannya, seperti konflik perbatasan Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan Malaysia yang dimenangkan oleh Malaysia; Thailand dan Kamboja yang berhenti berkonflik, tetapi saling bekerja sama memanfaatkan Candi Preah Vihear; hingga konflik Malaysia dengan Singapura terkait Pedra Branca yang muncul saat penyelesaian konflik Pulau Ligitan dan Sipadan.

Selain itu, pada bab pertama juga dijelaskan kondisi perbatasan negara-negara di ASEAN dan mekanisme penyelesaian sengketa perbatasan. Di ASEAN terdapat Treaty of Amity and Cooperation (TAC)yang merupakan aturan atas penyelesaian konflik antarsesama negara anggota ASEAN. Dalam TAC yang dicetus pada sidang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) I ASEAN tahun 1976, dirumuskan bahwa sesama negara di ASEAN yang sedang berkonflik dapat diselesaikan dengan membentuk perkumpulan yang dinamakan dengan ASEAN High Council.ASEAN High Council terdiri atas negara-negara yang sedang dalam sengketa dan negara yang bebas dari konflik, kemudian melakukan pertemuan untuk menyelesaikan masalah.

Bab kedua dalam buku memperjelas tata cara penyelesaian konflik di negara ASEAN. Negara-negara ASEAN memiliki tujuan yang ingin dicapai. Tujuan ini memiliki pengaruh pada penyelesaian konflik yang terjadi, di antaranya memajukan perdamaian dan stabilitas di Asia Tenggara sehingga jika terdapat konflik yang terjadi, kedua atau lebih negara yang bertikai harus menyelesaikan dengan jalan perdamaian terlebih dahulu, misalnya dengan berunding dan berdiskusi bersama. Selain itu, dalam traktat TAC tercantum bahwa negara-negara ASEAN tidak boleh ikut campur dalam urusan dalam negeri negara lain. Pasal ini membuat negara lain yang tidak berkonflik enggan untuk membantu dalam menyelesaikan pertikaian.

Selanjutnya, pada bab tiga, sengketa perbatasan Sipadan-Ligitan dan Pedra Branca diulas dengan evaluasi keputusan yang dipilih oleh Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Pulau Sipadan-Ligitan menjadi pertikaian saat muncul aturan batas landas kontinen di Selat Malaka. Jika dilihat dari jaraknya, pulau tersebut lebih dekat dengan Malaysia. Tidak hanya itu, secara historis penjajah Inggris dan Hindia Belanda sudah bersepakat tentang perbatasan wilayah jajahan. Penjajah Inggris berkuasa atas wilayah Sultan Sulu, sedangkan Hindia Belanda berkuasa di wilayah Kesultanan Bulungan. Malaysia lalu membuat gambaran peta yang di dalamnya terdapat Pulau Sipadan-Ligitan sehingga memunculkan konflik yang lebih serius. Dalam peta tersebut, Pedra Branca diklaim oleh Malaysia yang kemudian mendapat protes dari Singapura. Kedua konflik ini diselesaikan melalui International Court of Justice (ICJ), yaitu organisasi internasional yang menyelesaikan pertikaian secara hukum sehingga antarnegara yang berkonflik harus mengakui hasil akhir keputusan.

Bagian konflik perbatasan Thailand dan keempat negara ASEAN, yaitu Malaysia, Myanmar, Kamboja, dan Laos dibahas dalam bab empat. Bagaimana kondisi konflik bisa terjadi dan cara penyelesaian yang diambil, dipaparkan dengan melihat kedua negara yang berkonflik apakah mengambil cara penyelesaian yang ditawarkan ASEAN. Sempat terdapat pengerahan senjata antara Thailand dan Kamboja, tetapi Kamboja dengan sepihak melaporkan kasus Candi Preah Vihear ke ICJ.

Bab terakhir membahas kesimpulan dari penyelesaian sengketa perbatasan negara ASEAN, yaitu belum adanya negara yang bersepakat untuk menyelesaikan konflik melalui bantuan High Council karena berbasis politik. Selain itu, negara ASEAN lain yang tidak berkonflik, mematuhi traktat TAC tentang ketidakbolehan campur tangan urusan dalam negeri negara lain. Konflik banyak diselesaikan melalui hukum dengan menerima keputusan dari ICJ.

Buku ini membuka wawasan mengenai kondisi negara-negara di ASEAN. Meskipun memiliki perbatasan yang saling berdekatan, hal ini justru memicu adanya konflik antarnegara. Penulis membahas bagaimana cara penyelesaian konflik perbatasan negara dengan jelas dan lengkap di setiap subbabnya. Tidak hanya itu, pembaca selalu diingatkan tentang aturan ASEAN yang seharusnya menjadi solusi bagi konflik yang ada. Pembahasan ini membangkitkan kesadaran bahwa masih perlunya perhatian di dalam organisasi ASEAN, khususnya di bagian mekanisme penyelesaian konflik. Dari sudut pandang yang berbeda, pembaca seolah-olah ikut terbawa ke dalam konflik ataupun sebagai pengamat.

Buku ini dipaparkan dengan gaya yang teoretis. Istilah teknis dan singkatan yang kurang populer membuat pembaca perlu melihat ulang pada bab bahasan sebelumnya. Selain itu, jenis font yang dipilih pun terlihat cukup rumit, menyulitkan mata untuk bergerak ke kalimat lainnya. Jika jarak antarkata, huruf, dan kalimat dibuat lebih renggang, hal itu akan dapat memberikan efek segar yang memudahkan pembacaan.

Terlepas dari hal tersebut,  buku Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perbatasan di Asia Tenggara sangat bermanfaat dan layak untuk dibaca, baik bagi pelajar maupun pembelajar, terutama para kalangan muda agar memupuk kepedulian tentang kondisi Negara Indonesia dan negara-negara tetangga. Dengan membaca buku ini, pembaca diajak untuk melihat dari sudut pandang yang berbeda terhadap suatu konflik antarnegara serta disadarkan akan tidak mudahnya penyelesaian konflik tersebut karena adanya kondisi maupun keadaan dalam negeri yang harus diperhatikan oleh negara berkaitan.

 Buku ini merupakan salah satu karya terpilih dalam Program Akuisisi Pengetahuan Lokal yang dilaksanakan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Program ini memberikan insentif kepada penulis buku ataupun kreator audiovisual terpilih dan bersedia karyanya dinikmati secara gratis oleh seluruh masyarakat Indonesia.

Tertarik membaca e-book-nya? Silakan klik tombol dibawah ini ya!