Pernahkah kita mendapati suatu kesalahan dalam sebuah karya tulis, baik itu tulisan kita sendiri maupun tulisan orang lain? Bisa jadi itu adalah kalimat yang ambigu, style pustaka yang rancu, atau penulisan ejaan yang keliru.
Ini merupakan hal yang wajar pada sebuah tulisan, apalagi tulisan dengan sekian banyak halaman. Bahkan hampir semua tulisan, baik ilmiah maupun non-ilmiah, baik fiksi maupun nonfiksi, yang sudah diterbitkan, tidak luput dari kesalahan, mulai dari yang ringan sampai yang berat. Meski demikian, tanggung jawab untuk memastikan sebuah tulisan, naskah atau karya tulis ilmiah, agar minim atau minus kesalahan wajib dijunjung tinggi.
Terlebih lagi apabila tulisan atau naskah tersebut akan dipublikasikan. Sedapat mungkin hendaknya naskah tersebut ditulis secara estetis dan dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Jangan sampai maksud yang tertulis dalam naskah tersebut sulit dipahami dan dimengerti, atau justru dipahami secara berbeda oleh masyarakat/pembaca.
Guna meminimalkan koreksi atas naskah/tulisan yang akan dipublikasikan, ada baiknya naskah/tulisan tersebut dicek terlebih dahulu. Pengecekan tulisan/naskah inilah yang kemudian secara luas dipahami sebagai editing, pengeditan atau penyuntingan. Editing sendiri dapat dilakukan secara global dalam sebuah naskah, baik itu mengedit naskah dari segi substansi maupun mekanik.
Ibarat rumah, denah rumah adalah substansi, sedangkan desain interior adalah sisi mekaniknya. Oleh sebab itu, editing mekanik dapat dilakukan hanya jika editing substansi telah diselesaikan.
Agar lebih fokus, tulisan ini lebih diarahkan ke editing mekanik yang meliputi aspek keterbacaan, kebahasaan, dan ketaatasasan dengan mengacu kepada referensi tertentu. Asumsinya, tulisan/naskah ini sudah layak atau tidak ada lagi revisi dari segi substansi, jadi tinggal melakukan penyuntingan dari segi mekanik.
Selanjutnya, pertanyaan penting yang sering kali muncul adalah bagaimana caranya?
Banyak hal yang perlu diperhatikan saat melakukan editing (mekanik). Bambang Trim dalam bukunya, Taktis Menyunting Buku, memfokuskan hal-hal tersebut ke dalam sepuluh poin yang meliputi 1) ejaan, 2) pemenggalan kata, 3) huruf kapital, 4) tanda baca, 5) penerapan angka dan rumus, 6) penerapan kutipan, 7) penggunaan singkatan dan akronim, 8) penggunaan huruf miring dan huruf tebal, 9) penerapan elemen khusus (judul, daftar, tabel, grafik, dan diagram), dan 10) format catatan kaki serta dokumentasi lain.
Banyak sekali bukan? Bisa jadi keengganan muncul dalam diri Anda untuk menerapkan cara tersebut karena detail yang sangat banyak atau kurangnya pengalaman.
Namun, jangan khawatir. Ada enam langkah editing yang praktis dan sederhana yang dapat Anda terapkan menurut (versi) penulis. Apa saja langkah-langkahnya? Check it out…
Keenam langkah tersebut dapat kita rumuskan sebagai Metode SEKSI-B. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut.
- S = Spasi -> Pastikan hanya ada spasi tunggal/tidak ada spasi dobel/ganda.
- E = Ejaan -> Pastikan semua ejaan sudah benar/tidak ada salah ketik.
- K = Kata & kalimat -> Pastikan semua kata dan kalimat sudah terstruktur dengan baik (sintaksis) dan mudah dipahami (semantik).
- S = Sumber -> Pastikan semua sumber dalam teks (sitasi/kutipan) sudah tertulis di daftar pustaka dan ditulis berdasarkan salah satu style pendokumentasian sumber yang berlaku (khusus untuk tulisan dengan referensi/pendokumentasian sumber).
- I = Ilustrasi (Gambar/Tabel/Diagram)
- Pastikan penomoran ilustrasi sudah urut
- Pastikan semua ilustrasi) yang digunakan sudah disebut dalam teks.
- Pastikan penyebutan ilustrasi dalam teks/kalimat sudah sesuai dengan nomor dan caption ilutrasi itu sendiri.
- B = Baca kembali -> random, scanning, atau skimming
Langkah pertama (spasi), adalah memastikan bahwa semua spasi yang digunakan sudah konsisten, yaitu menggunakan spasi tunggal. Caranya adalah dengan mengaktifkan fitur ‘find and replace’, kemudian mengetuk tombol spasi 2x atau 3x pada kolom ‘find’ dan mengetik tombol spasi 1x pada kolom ‘replace’. Selanjutnya, klik pilihan ‘replace all’. Langkah ini penting dilakukan karena dapat mendukung proses keterbacaan dan sangat efisien dari sisi detail produksi.
Tulisan yang diketik menggunakan spasi tunggal (yang seragam) mengandung sisi keterbacaan yang lebih baik daripada tulisan dengan spasi ganda. Hal ini dikarenakan mata pembaca dapat membaca tulisan dengan lebih cepat. Akibatnya, mata pun tidak mudah lelah dan membaca menjadi lebih efektif.
Kedua (ejaan), bahwa hampir dapat dipastikan kadang kala sebuah tulisan, baik itu tulisan dalam bentuk esai, jurnal, buku, majalah, koran maupun jenis terbitan yang lain dapat bebas dari kesalahan tulis (ejaan). Apalagi dewasa ini perangkat komputer sebagai alat dalam menghasilkan tulisan sudah dilengkapi dengan fitur spelling checker yang dapat melakukan auto-detect terhadap ejaan yang tidak dikenal sehingga memudahkan seorang penulis untuk menghindari kesalahan penulisan ejaan. Kendati demikian, lebih bijaksana lagi apabila seorang editor tidak mempercayakan 100% pendeteksian potensi kesalahan ejaan kepada fitur tersebut.
Mengamati ejaan dengan cara membaca juga penting dilakukan karena bagaimanapun juga, otak manusia merupakan perangkat manusia paling canggih dari teknologi super canggih sekalipun. Acap kali sebuah ejaan yang dirasa benar oleh perangkat komputer belum tentu benar juga menurut otak manusia, misalnya ‘kelapa’ dan ‘manusia’ adalah dua ejaan yang benar, dan fitur auto-detect tidak akan mendeteksi kesalahan ketika dua kata tersebut ditulis berdampingan, ‘kelapa manusia’. Walaupun fitur auto-detect menganggapnya benar, namun otak manusia tentu berkata lain, bukan?
Langkah ketiga adalah ‘kata’ dan ‘kalimat’. Dalam tataran ini, seorang editor dianjurkan untuk membaca seluruh teks/naskah guna mengamati konsistensi penggunaan kata atau istilah serta susunan kalimat (sintaksis) dan memahami makna yang dimaksud oleh kalimat tersebut (semantik). Usahakan susunan kalimat sudah sesuai dengan struktur bahasa yang benar dan maknanya dapat dipahami dengan mudah dan benar oleh pembaca. Ketika tahap membaca ini dilakukan, secara langsung seorang editor juga memeriksa dengan lebih detail tiap ejaan yang dirangkai yang kemudian berevolusi menjadi kata, kalimat, bahkan paragraf. Tak luput pula penggunaan huruf kecil, kapital serta tanda baca yang menyertai suatu kalimat pun turut diperiksa. Dengan membaca isi secara keseluruhan, kesalahan atau ketidaktepatan penggunaan istilah, singkatan, kata, maupun kalimat akan dengan mudah diidentifikasi.
Langkah keempat adalah dengan memeriksa penulisan sumber. Sumber harus dicantumkan apabila ada sebuah tulisan yang menyitir opini/pendapat orang lain. Ini dilakukan untuk menjaga kode etik penulisan. Lebih penting lagi, seorang editor harus dapat memastikan bahwa semua sumber dalam teks (sitasi) harus sudah terdaftar atau ditulis dengan rapi di daftar pustaka. Pun penulisannya harus disesuaikan dengan salah satu penulisan style pendokumentasian sumber yang berlaku secara internasional.
Kelima, ilustrasi, menjadi hal yang tak kalah penting untuk dicek berikutnya. Pastikan bahwa semua ilustrasi yang dicantumkan sudah diberi nomor secara urut dan tiap-tiap ilustrasi harus disebutkan (atau minimal ‘disinggung’) dalam teks. Ini untuk mengindikasikan bahwa ilustrasi tersebut memiliki fungsi strategis dalam sebuah tulisan/naskah. Di samping itu, pastikan juga bahwa tidak ada salah penyebutan ilustrasi. Caranya adalah dengan mencocokkan penyebutan ilustrasi dalam teks dengan nomor atau caption ilustrasi itu sendiri.
Sebagai langkah terakhir, langkah keenam adalah baca kembali tulisan/naskah tersebut untuk memastikan kondisi naskah. Tahapan ini bisa dilakukan dengan cara membaca secara acak (random) satu atau dua kalimat dari tiap paragraf atau wacana; membaca dengan cepat semua tulisan/naskah yang telah diedit tersebut (scanning); atau dapat juga melalui skimming, yaitu membaca dengan cara berfokus pada suatu kata/kalimat yang dikehendaki.
Demikianlah Metode SEKSI-B yang dapat diterapkan untuk mengedit naskah. Dengan bekal metode editing yang sederhana tersebut diharapkan editing dapat dengan mudah dilakukan oleh setiap orang/penulis. Kalau setiap penulis dapat mengedit/menyunting sendiri tulisannya (swasunting), tentu tulisan yang dihasilkan akan semakin minim kesalahan dan pesan yang disampaikan melalui naskah/tulisan tersebut dapat dengan mudah dan benar dipahami oleh pembaca. Pada akhirnya, sinergi antara kemampuan menulis dan kemampuan mengedit menjadi hal yang mutlak diperlukan untuk menghasilkan tulisan/naskah yang tidak saja baik, namun juga benar dari sisi kaidah bahasa. /spd/